Disamping itu para gereliyawan yang selamat mengadakan pertahanan di desa kertagenna batas Pamekasan – Sumenep yang sebelumnya pertahanan bermarkas di Kadur, Pamekasan. Disisi lain Belanda juga membentuk markas pertahanan di Cen lecen tak jauh dari markas para pejuang yang telah dibangun sebelumnya. Untuk mencegah doorstoot dari pihak musuh ke wilayah Sumenep para pejuang R.I juga membentuk markas pertahanan satu regu MB (mobile brigade) di daerah Guluk-Guluk di bawah pertahanan Komando Ajun Inspektur Polisi R. Abd. Kadir dan Barisan Sabillah dibawah pimpinan K. Abdullah Sajjad. Tak hanya membentuk pertahan di daerah yang strategis, Markas Resimen 35 Jokotole yang semula ada di daerah Batu Ampar di pindah ke daerah Karangtenga Ru Baru.
Pada Tanggal 8 Oktober 1947, Belanda yang ada di cen-lecen mengadakan serangan ke pertahan para pejuang di Guluk-guluk, di kala itu pasukan Belanda berhasil menduduki daerah Guluk-guluk dan Ganding sambil memperbaiki jembatan yang telah dibumi hanguskan sebelumnya oleh pejuang-pejuang agar tidak bisa menyerang ke wilayah Sumenep.
Setelah pertempuran berjalan dua bulan lamanya, Komandan Resimen Letkol R. Chandra Hassan mengutus mayor R. AbuJamal dan kapten Ahmad Hafiloeddin untuk pergi ke jogja yang menjadi pusat pemerintahan R.I kala itu guna meminta bala bantuan. Dua minggu sesudahnya tepat tanggal 20 oktober 1947. Pagi hari , di atas angkasa kota Sumenep, pesawat udara Dakota 001 yang di kemudiakan oleh pilot Bob Freeberg , Navigator dan pemegang komando oleh putra daerah Suemenep Halim Perdanakusuma, jump master Opsir Muda Udara I Sukoco dan Opsir Muda Udara II Sujono meraung-raung dengan gagahnya Kemudian terbang merendah berputar-putar dan menjatuhkan pesan berupa tabung bambu yang diberi tanda merah putih sebagai isyarat bagi pasukan TRI yang melaksanakan pertahanan udara di Kota Sumenep. Selanjutnya penerjunan dimulai dengan menjatuhkan enam buah keranjang rotan berisi bahan-bahan logistik, persenjataan, amunisi, bahan sandang-pangan dan uang sebesar Rp. 5.000.000,-. Lalu disusul dengan terjunnya Mayor R. Abujamal dan Kapten R. Ach. Hafiludin dengan parasut yang juga diberi tanda bendera merah putih.
Pertahanan di Sumenep tak hanya ada diwilayah-wilayah strategis perkotaan dan pintu masuk menuju kota, namun juga dilakukan diwilayah sekitar peraian Sumenep tepatnya di Kalianget. Setelah Batalyon V Resimen 35, Kompi II yang dipimpin oleh Letnan Salamon kembali dari Kamal, ditempatkan di Pabrik Garam Kalianget, kala itu yang menjabat sebagai Kepala Pabrik adalah R. Andana Sasmito. Letnan Salamon ditugaskan untuk mengamankan Pabrik Garam yang merupakan Perusahaan yang sangat vital. Letnan A. Afandie sebagai Cie I dan merangkap sebagai Kepala Staf Cie, Kopral Abd. Mannan sebagai perlengkapan dan Sersan Mayor Moh. Saleh sebagai juru bayar/Keuangan.
Kesatuan Laskar Rakyat yang ada di Kalianget pada waktu itu adalah Cie Angkatan Laut RI dibawah pimpinan Sabidin, sedangkan Laskar Buruh Indonesia (LBI) dibawah Osman Polontalo Dan pemasangan trekbom dilakukan oleh Ganie dibawah pengawasan Kapten Sahur. Dan barisan Pesindo dipimpin oleh RP.Agil.
Pada waktu terjadi pertempuran yang sengit di Kalianget. Belanda memuntahkan peluru meriam kapalnya ke pertahanan pantai Kalianget sejak jam 14.00 sampai jam 16.30, akhirnya tentara Belanda dengan kapal-kapalnya kembali ke lautan lepas. Korban di pihak pejuang hanya ada beberapa orang terluka, diantaranya dari TRI dan LLRI. Karena itu sektor IV Kalianget dan Prenduan terhindar dari pendudukan tentara Belanda.
Pertahanan Kalianget waktu itu dibagi dua : Kalianget timur ditugaskan kepada Laskar Laut (dulu: ALRI darat ), sedang Kalianget barat ditugaskan kepada Cie Salamon dibantu oleh Pesindo dan LBI. Pengamanan sendiri dilakukan di dalam Pabrik Garam, karena waktu itu pabrik Garam menyediakan bahan makanan kepada pasukan yang bertugas di medan juang. Pada hari Jumat sekitar jam 10.00 secara tidak terduga sebelumnya sebuah kapal Destroyer milik Belanda dari arah selatan “Kèsong” (pangkalan kereta api pengangkut garam yang menjorok kelaut) bergerak menuju pelabuhan Kalianget, sasarannya adalah Pelabuhan Kertasada dan Tambangan.
Melihat kapal Destroyer Belanda mendekati pantai maka Laskar Rakyat menembakkan senapan mitraliur dari darat, dari posisi sebelah timur juga terdengar suara tembakan watermantel. Sedangkan regu penembak adalah Sudarmo, Sabidin, Malik dan kawan-kawan yang kesemuanya orang Kalianget. Senjata 12,7 yang diangkut dari Sumenep ke Kalinget, oleh Laskar Rakyat ditembakkan secara berpindah-pindah sebanyak delapan kali yang ditujukan kepada kapal Destroyer Belanda. Dengan demikian Belanda menyangka bahwa pihak Pejuang mempunyai senjata 12,7 sebanyak delapan unit, sehingga pihak Belanda tidak punya keberanian untuk mendaratkan kapalnya di pelabuhan Kalianget.
Disamping itu Kota Sumenep, tepatnya di alun-alun kota juga dijaga oleh para Pejuang bersenjata sisa dari prajurit Batalyon IV yang bermarkas di TANGSE (KODIM sekarang) dibawah pimpinan Mayor R. Abd. Madjid, dan Moh. Gasim selaku Komandan Kompi dengan membuat pertahanan di dalam lubang-lubang buatan. Di kantor-kantor Pemerintahan dan bangunan besar juga dijaga oleh para Pejuang bersenjata. Dengan tujuan untuk menjaga kemungkinan dan bilamana Belanda akan menduduki Sumenep maka bangunan-bangunan tersebut akan dibumihanguskan. Kota Sumenep, dapat dikatakan setiap hari ada serangan udara dari pihak Belanda. Pejuang yang ada di alun-alun tepat di depan Mesjid Jamik selalu mengadakan perlawanan dengan menembak pesawat Belanda tersebut, sekalipun senjatanya hanya senapan biasa dan mitraliur.
Pada hari Selasa tanggal 11 Nopember 1947 sekitar jam 06.00 pagi, pesawat udara Belanda telah berada di atas kota Sumenep dan tidak seperti biasanya yakni hanya ada satu pesawat yang mengudara diatas udara kota namun, kala itu ada 5 pesawat udara, masing – masing dari arah timur 1 pesawat, dari utara 1 pesawat, dari selatan 2 pesawat yang kemudian disusul lagi dengan 1 pesawat, dengan melancarkan serangan pada titik-titik yang dicurigai sebagai tempat perlindungan para pejuang RI.
Ketika itu pesawat Belanda menembaki para Pejuang yang berlindung dalam lubang, seorang pejuang bernama Sersan Zakariya ada di luar lubang perlindungan berdiri dekat pohon kayu hujan. Ketika ada pesawat Belanda melakukan tembakan, maka Sersan Zakariya menembakkan mitraliur 12,7 pada pesawat tersebut. Tapi hanya kena ekor pesawat dan masih bisa terbang. Selanjutnya senjatanya macet, dan dia berputar-putar mengelilingi pohon kayu hujan untuk melindungi diri, dan terkena tembak oleh tentara Belanda dari pesawat, hingga gugur sebagai Kusuma Bangsa.
Melihat Sersan Zakariya gugur maka Mayor R. Abd. Madjid berada di depan Tangse Militer (KODIM sekarang) amat marah lalu mengambil pistolnya menembakkannya pada pesawat Belanda yang sedang mengudara diatas langit kota Sumenep. sayangnya tembakannya tersebut tidak sampai pada sasaran, kemudian Kopral Gus Capang naik ke atas pohon kayu hujan yang ada didekatnya lalu menembak pesawat Belanda dengan karabayn, namun juga tidak kena sasaran.
Di Jembatan Kebunagung, Prajurit RB. Ibrahim dengan memegang senjata sisa penjajahan Jepang menembak pesawat tersebut. Namun Munawar Sarbini berteriak mengingatkan untuk tidak melepaskan tembakan sebab aka melukai banyak korban sipil yang berbelanja di di pasar kala itu.
Sebelum Belanda menyerang kota Sumenep, Peleton RB. Hasbullah Kompi dan komandan Kompinya R. Abd. Latief menempatkan Seksi Sersan Abd. Rahem di pasar sore dan Seksi Sersan Abd. Rauf di Kebunan. Keesokan harinya hari Senin sekitar jam 10.00 Abd. Rauf memperbaiki trekbom seberat enam puluh kilogram bersama dengan Prajurit Abd. Bahar. Namun nahas telah menimpanya, trekbomnya meledak seketika, hingga menewaskan kedua prajurit yang memasangnya. Bagian tubuh keduanya hancur berserakan berjatuhan dimana-mana, ada yang menyangkut di atas pohon asam. Melihat kejadian yang tragis itu kawan-kawannya mendekati untuk menolong, tapi yang mau ditolong tidak ada ditempat karena tubuhnya sudah cerai-berai berserakan. Mereka berupaya untuk mengumpulkannya dan hanya berhasil mencari sisa-sisa tubuhnya sekitar satu katombhu ( keranjang kecil dari daun siwalan ) yang beratnya hanya sekitar tiga kilogram. Dan sisa-sisa daging yang ada tersebut kemudian dikuburkan di dekat Mesjid Sokambang Kebunagung.
BERSAMBUNG
kepustakaan :
Sedjarah Madura Selajang Pandang, Drs. Abdurrachman, mei 1971, Perc the sun Sumenep
Sejarah Perjuangan Rakyat Sumenep 1945-1950, Tadjul Arifien, R, 2008
foto oleh koleksi Songennep Tempo Doeloe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar